GEOTHERMAL : GREEN AND RENEWABLE ENERGY FOR FUTURE (PLEASE SUPPORT)
ads ads ads ads

Minggu, 16 November 2014

Hidrogeomorfologi

Hidrogeomorfologi adalah sub bidang geomorfologi yang menjurus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sumber air, proses air dan morfologi yang berkaitan dengannya.
Mata air adalah pusat keluarnya air tanah yang muncul di permukaan tanah sebagai arus dari aliran air tanah (Tolman, 1937). Menurut Bryan (1919) dalam Todd (1980), berdasarkan sebab terjadinya mata air diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: mata air yang dihasilkan oleh tenaga non gravitasi  (non gravitational spring)  dan mata air yang dihasilkan oleh tenaga gravitasi (gravitational spring).
Mata air yang dihasilkan oleh tenaga non gravitasi meliputi: mata air vulkanik, mata air celah, mata air hangat, dan mata air panas. Mata air gravitasi diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, yaitu: mata air depresi  (depresion spring) yang terbentuk bila permukaan air tanah terpotong oleh topografi; mata air kontak (contact spring) terjadi bila lapisan yang lulus air terletak di atas lapisan kedap air; mata air artesis (artesian spring) yang keluar dari akuifer tertekan; dan mata air turbuler (turbulence spring) yang terdapat pada saluran-saluran alami pada formasi kulit bumi, seperti goa lava atau joint.
Salah satu wilayah yang mempunyai potensi mata air besar adalah wilayah lereng gunung api. Pada gunung api strato muda, umumnya mempunyai pola persebaran mata air yang melingkari badan gunung api membentuk pola seperti sabuk, yang biasa disebut sabuk mata air  (spring belt). Hal ini merupakan gejala pemunculan mata air yang khas dan umum terdapat pada gunungapi strato di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Pada ketinggian-ketinggian tertentu terdapat jalur mata air  (spring belt) berkaitan dengan perubahan lereng yang diakibatkan oleh perubahan struktur batuan pembentuknya (Purbohadiwidjojo, 1967).
Pengendapan material pada akhirnya membentuk akuifer yang mempunyai porositas dan permeabilitas tinggi, khususnya pada morfologi lereng gunungapi hingga dataran fluviovulkanik. Hal ini lebih didukung lagi oleh adanya curah hujan yang jatuh di atas bentang lahan cukup tinggi. Persebaran mata air dengan berbagai debit aliran terdapat pada tubuh gunung api bagian tengah (lereng gunungapi) hingga bawah (kaki gunungapi), dengan tempat pemunculan kurang lebih bersesuaian dengan tempat terjadinya perubahan kemiringan lereng  (break of slope), yang mengindikasikan perubahan tingkat kelulusan batuan (Purbohadiwidjoyo, 1967).
Ardina (1985) menjelaskan tentang hubungan antara litologi (gunung api tua, gunung api muda, batu gamping tua, dan batu gamping muda) dengan debit matair yang keluar dari masing-masing formasi batuan tersebut. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pada formasi gunung api tua memberikan nilai korelasi sebesar 0,90 terhadap debit mata air, sedangkan pada gunung api muda memberikan korelasi sebesar 0,95 terhadap debit mata air. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tua umur batuan gunung api, maka semakin kecil pengaruhnya terhadap debit mata air yang muncul. Hal ini dapat terjadi karena dalam perkembangannya semakin tua umur batuan gunung api, maka proses pemadatan dan perekatan berjalan lebih intensif yang menyebabkan rongga antar butir menjadi kecil, sehingga nilai kesarangan dan kelulusannya juga kecil. Oleh karena itu debit mata airnya juga akan lebih kecil dibandingkan dengan debit mata air pada formasi gunung api muda.
Untuk mempelajari karakteristik dan pola agihan mata air, dapat digunakan pendekatan hidrogeomorfologi. Artinya bahwa dengan mempelajari kondisi geomorfologi di suatu daerah, maka dapat diperkirakan dan dianalisis secara baik tentang karakteristik, persebaran, dan dinamika pemunculan mataair.

Munculnya mata air di daerah vulkanik lebih disebabkan oleh tenaga dari dalam bumi, sebagai mata air non gravitasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar