Hidrogeomorfologi adalah sub bidang
geomorfologi yang menjurus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sumber air,
proses air dan morfologi yang berkaitan dengannya.
Mata air adalah pusat keluarnya air tanah
yang muncul di permukaan tanah sebagai arus dari aliran air tanah (Tolman, 1937).
Menurut Bryan (1919) dalam Todd (1980), berdasarkan sebab terjadinya mata air
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: mata air yang dihasilkan oleh tenaga non
gravitasi (non gravitational
spring) dan mata air yang dihasilkan
oleh tenaga gravitasi (gravitational spring).
Mata air yang dihasilkan oleh
tenaga non gravitasi meliputi: mata air vulkanik, mata air celah, mata air
hangat, dan mata air panas. Mata air gravitasi diklasifikasikan menjadi
beberapa tipe, yaitu: mata air depresi
(depresion spring) yang terbentuk bila permukaan air tanah terpotong
oleh topografi; mata air kontak (contact spring) terjadi bila lapisan yang
lulus air terletak di atas lapisan kedap air; mata air artesis (artesian
spring) yang keluar dari akuifer tertekan; dan mata air turbuler (turbulence
spring) yang terdapat pada saluran-saluran alami pada formasi kulit bumi,
seperti goa lava atau joint.
Salah satu wilayah yang mempunyai
potensi mata air besar adalah wilayah lereng gunung api. Pada gunung api strato
muda, umumnya mempunyai pola persebaran mata air yang melingkari badan gunung api
membentuk pola seperti sabuk, yang biasa disebut sabuk mata air (spring belt). Hal ini merupakan gejala
pemunculan mata air yang khas dan umum terdapat pada gunungapi strato di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Pada ketinggian-ketinggian tertentu
terdapat jalur mata air (spring belt)
berkaitan dengan perubahan lereng yang diakibatkan oleh perubahan struktur
batuan pembentuknya (Purbohadiwidjojo, 1967).
Pengendapan material pada akhirnya
membentuk akuifer yang mempunyai porositas dan permeabilitas tinggi, khususnya
pada morfologi lereng gunungapi hingga dataran fluviovulkanik. Hal ini lebih
didukung lagi oleh adanya curah hujan yang jatuh di atas bentang lahan cukup
tinggi. Persebaran mata air dengan berbagai debit aliran terdapat pada tubuh
gunung api bagian tengah (lereng gunungapi) hingga bawah (kaki gunungapi),
dengan tempat pemunculan kurang lebih bersesuaian dengan tempat terjadinya
perubahan kemiringan lereng (break of
slope), yang mengindikasikan perubahan tingkat kelulusan batuan
(Purbohadiwidjoyo, 1967).
Ardina (1985) menjelaskan tentang
hubungan antara litologi (gunung api tua, gunung api muda, batu gamping tua,
dan batu gamping muda) dengan debit matair yang keluar dari masing-masing
formasi batuan tersebut. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pada
formasi gunung api tua memberikan nilai korelasi sebesar 0,90 terhadap debit
mata air, sedangkan pada gunung api muda memberikan korelasi sebesar 0,95
terhadap debit mata air. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tua umur batuan
gunung api, maka semakin kecil pengaruhnya terhadap debit mata air yang muncul.
Hal ini dapat terjadi karena dalam perkembangannya semakin tua umur batuan
gunung api, maka proses pemadatan dan perekatan berjalan lebih intensif yang
menyebabkan rongga antar butir menjadi kecil, sehingga nilai kesarangan dan
kelulusannya juga kecil. Oleh karena itu debit mata airnya juga akan lebih
kecil dibandingkan dengan debit mata air pada formasi gunung api muda.
Untuk mempelajari karakteristik dan
pola agihan mata air, dapat digunakan pendekatan hidrogeomorfologi. Artinya
bahwa dengan mempelajari kondisi geomorfologi di suatu daerah, maka dapat
diperkirakan dan dianalisis secara baik tentang karakteristik, persebaran, dan
dinamika pemunculan mataair.
Munculnya mata air di daerah vulkanik lebih disebabkan oleh
tenaga dari dalam bumi, sebagai mata air non gravitasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar